(Kutil dan T. Martoloyo)
Nama aslinya Sakhayani. Berprofesi sebagai tukur cukur di seberang pasar
Talang. Namun nama Kutil lebih dikenal pada sosok “jagoan” tersebut. Kutil
mungkin bukan seorang politisi yang lihai dan memiliki perhitungan matang dalam
setiap langkah dan gerak politiknya. Lahir dari kalangan rakyat kecil biasa.
Memang di daerah Tegal kondisi saat itu banyak pergerakan politik dari
aktivis-aktivis yang muncul dari berbagai latar belakang ideologi, baik Islam,
sosialis dan komunis. Kutil sendiri tidak terindikasi sebagai anggota
organisasi apapun yang saat itu banyak dibentuk oleh kelompok-kelompok
pergerakan kebangsaan.
Peristiwa geger Kutil meletus beberapa bulan setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Situasi yang penuh ketidakpastian, ketika
pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri belum mampu merombak sistem
pemerintahan di daerah-daerah termasuk di Tegal dan sekitarnya. Bupati , Camat,
hingga Lurah masih banyak yang dipegang oleh pejabat lama dari kalangan
bangsawan yang hampir semuanya diangkat dan disetujui oleh pihak VOC hingga
pemerintahan Kolonial Belanda. Mereka menjadi pejabat yang bekerja untuk
Belanda dan ketika Jepang datang, perilaku para pejabat tersebut tidak berubah,
berganti mengabdi pada tuan baru mereka.
Maka ketika Jepang mulai meninggalkan tanah jajahannya akibat kalah
perang dengan sekutu, terjadi kekosongan pemerintahan di hampir seluruh wilayah
Indonesia, termasuk di Tegal, Brebes, dan Karisidenan Pekalongan. Sementara
pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk masih sibuk berbenah menyusun
pemerintahan di Jakarta. Para pejabat tersebut tidak lagi memiliki beking yang
menopang kekuasaan mereka.
Perilaku yang menghamba pada penjajah baik Belanda maupun Jepang dengan
menindas rakyat, menjadikan mereka sasaran empuk dan pelampiasan kemarahan
rakyat yang sudah terjajah ratusan tahun. Saat itulah Kutil tampil memimpin
rakyat yang marah menggeruduk kantor-kantor pemerintahan dan menahan para
pejabat tersebut. Gerakan spontanitas berubah menjadi liar dan tak terkendali.
Para Bupati, Camat dan Lurah yang punya jejak rekam sebagai penindas diseret
dan diarak di jalanan. Pakaian kebesaran mereka dilucuti dan diganti dengan
karung goni. Gerakan tersebut terkenal dengan istilah “dombreng” yakni mengarak
para pejabat tersebut di jalan umum dengan diiringi tetabuhan dari berbagai
macam benda yang berbunyi dengan diteriaki “dombreng-dombreng-dombreng” sebelum
mereka dihukum mati atau dieksekusi oleh rakyat di jembatan merah (orang tegal
biasa menyebut brug abang) Talang.
Rakyat yang eforia atas diproklamasikan kemerdekaan Indonesia hingga
menjadi ketidaksabaran rakyat yang selama ini hidup tertindas mempercepat
gerakan tersebut meluas yang akhirnya disebut Gerakan Tiga Daerah, Tegal,
Brebes, dan Pekalongan. Bahkan Jenderal Soedirman sebagai penguasa militer saat
itu mengaku bingung dengan peristiwa tersebut.
Gerakan rakyat yang spontan dalam rangka menuntut keadilan dan otonomi
kehidupan yang lebih baik terlanjur divonis Presiden Soekarno sebagai gerakan
pemberontakan melawan pemerintah yang sah. Soekarno dengan emosi sempat
menyatakan bahwa tiga daerah tersebut ingin menjadi negara sendiri. Maka
operasi militer menjadi jalan pintas bagi penguasa dalam menangani gejolak di
daerah-daerah tersebut. Para pemimpinnya ditangkap termasuk Kutil. Namun
hukuman yang diterima mereka berbeda-beda, Abu Sujai, Bupati Tegal yang
diangkat oleh gerakan tersebut oleh pemerintah saat itu hanya diusir dan tidak
boleh menetap di daerah Tegal. Bahkan tokoh-tokoh dari latar belakang sosialis
dan komunis, mereka dibebaskan bahkan banyak yang mendapat posisi di
perusahan-perusahaan milik pemerintah, salah satunya PJKA (sekarang PT KAI).
Kutil sendiri sempat lolos dan melarikan diri ke Jakarta (masih
diduduki Belanda saat itu), namun berhasil ditangkap dan akhirnya berhadapan
dengan regu tembak.
Eksekusi hukuman mati terhadap Kutil dilaksanakan di pinggir pantai
Pekalongan, tanggal 5 Mei 1951. Menolak ditutup matanya Kutil menyongsong
peluru yang menjemput kematiannya. Pintu air Pesayangan dan jembatan merah
Talang masih kokoh berdiri, membisu, saksi dari segala kekejaman dan
nafsu membunuh antar manusia. Riak air Kali Gung terus mengalir membawa
segala macam aroma sisa kehidupan manusia hingga bermuara di laut jawa.
Seorang teman mengirim pesan lewat blackberry messenger, “kemenangan
memiliki banyak ibu, sementara kekalahan adalah yatim piatu”. Pemberontakan
tiga daerah yang dipimpin Kutil nasibnya berakhir seperti anak yatim piatu,
kekalahan membawa seorang Kutil mendekam sendirian di penjara Pekalongan, dalam
kesunyian menanti tiba ajalnya menghampiri. Banyak orang sinis dan mencibir
sebagai gerakan gerombolan petualang politik, “preman,” penjahat dan Kutil.
Bahkan banyak kalangan masyarakat di Tegal seperti tabu menceritakan peristiwa
tersebut dan berusaha menghapus sejarah kelam dari ingatan mereka.
Sementara Trunojoyo yang mati ditikam keris Amangkurat II, karena
melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan mengingkari perjanjian untuk
menyerahkan tahtanya, orang menyebutnya sebagai Pahlawan, berbeda dengan Sakhayani
alias Kutil yang mati dalam kesepian dan kenestapaan. Bahkan jejak kuburnya
juga seperti hilang ditelan bumi.
Rintik
gerimis berlalu, semburat cahaya matahari bersembunyi dibalik awan. Kompleks
makam Sunan Amangkurat I yang jaraknya beberapa ratus meter dari jembatan
Talang terasa sunyi. Hanya terdengar anak-anak kecil bermain di sekitar
pelataran makam raja Jawa yang mati mengenaskan karena diracun oleh Putra
Mahkotanya sendiri, sementara Trunojoyo dan laskar Madura berhasil
memporakporandakan kehormatan sekaligus singgasananya dan mengusir anak
keturunan Sultan agung tersebut dari tempat bertahtanya. Misteri kehidupan para
penguasa yang terkadang tidak bisa dimengerti oleh kita orang biasa. Demi
kekuasaan bapak dan anak berusaha saling membunuh, dan putra mahkota berhasil
meracuni ayah kandungnya sendiri, hingga dikutuk anak keturunannya tidak
ada yang akan menjadi raja. Bahkan konon tidak boleh mengunjungi makam
Amangkurat I sebagai leluhurnya hingga kini.
Tumenggung Martopuro Adipati Jepara tidak kuasa melawan titah
junjungannya Sri Susuhunan Amangkurat II untuk membawa Tumenggung Martoloyo
hidup atau mati. Perintah tersebut adalah puncak kemarahan dari Amangkurat II
kepada Martoloyo yang “wengkel” mbalelo terhadapnya. Perintah raja Mataram itu tidak
boleh ditolak karena perintahnya adalah hukum, bahkan raja adalah hukum itu
sendiri. Peristiwa itu terjadi ketika diadakannya pertemuan agung seluruh
adipati se-jawa yang masuk wilayah Mataram. Pertemuan yang digagas Laksamana
Cornelis Speelman utusan Gubernur Jenderal VOC Mr. Maetsuyke yang kemudian
dikenal dengan nama Perjanjian Jepara tahun 1676. Hasil pertemuan tersebut
adalah ditanda tanganinya kesepakatan bahwa Mataram harus menyerahkan pesisir
jawa kepada Belanda sebagai kompensasi atas bantuannya memadamkan pemberontakan
Trunojoyo.
Kompeni Belanda mengetahui kalau Tumenggung Martoloyo sejak awal sangat
menentang perjanjian tersebut. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui,
demikian peribahasa mengatakan. Pertemuan Jepara tersebut selain menguntungkan
VOC mendapat wilayah pesisir jawa secara legal, juga digunakan untuk mengipasi
Amangkurat II agar melenyapkan Martoloyo, adipati pembangkang tersebut. Sikap
blak-blakan Martoloyo yang dengan terang-terangan meninggalkan pertemuan
tersebut membuat Kanjeng Sinuhun Amangkurat II murka. Sabda raja adalah mutlak,
tidak ada satupun kawula yang boleh membantah apalagi menentangnya karena raja
adalah Wenang wisesa ing sanagari.
“Nabok nyilih tangan”. Amangkurat II sangat mengetahui
kedigdayaan Martoloyo. Sebagai senopati Mataram yang pilih tanding dan punya
pengalaman bertempur diberbagai wilayah jawa sejak zaman Sultan agung,
Martoloyo tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka siasat dijalankan, Tumenggung
Martopuro sebagai saudara seperguruan, satu ilmu satu guru diutus untuk
“membereskan” Martoloyo.
Martopuro segera menyusul Martoloyo ke Tegal. Sebagai kawula yang
mengabdikan dirinya pada Sri Sinuhun Amangkurat II, ia tidak punya
pilihan lain, bagai makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan
ibu mati. Titah raja adalah sabda pandito ratu, tidak boleh dibantah dan tak
terbantahkan. Raja yang gung binathara, bahu dendha nyakrawati. Namun Martoloyo
juga bukan hanya sekedar saudara seperguruan, perjalanan panjang bahu membahu
melang melintang dalam pelbagai pertempuran menengakkan panji-panji Mataram
membuat hubungan kedua Tumenggung tersebut sangat dekat melebihi saudara. Maka,
meski dengan berat hati Martopuro menemui Martoloyo.
Martoloyo seorang keturunan bangsawan yang berbudi luhur, tidak suka dengan
kekuasaan yang menindas pada akhirnya ingin melepas jabatan adipati yang
disandangnya. Baginya seorang raja seharusnya berbudi bawa laksana, ambeg adil
marta dan anjaga tata tentreming praja. Tidak seperti Amangkurat II yang justru
menindas rakyat dan menghamba kepada kompeni Belanda demi kehidupan yang mewah
diatas penderitaan rakyatnya sendiri. Namun belum sempat niatnya terlaksana,
Martopuro sudah mendatanginya.
Disebuah pertigaan di tengah kota Tegal, keduanya berhadapan, saling
menatap, masing-masing membisu, segurat keraguan terlihat di wajah kedua
kesatria tersebut. setelah sejenak menghela nafas Tumenggung Martoloyo
berucap lirih “silahkan adi Martopuro”. Hanya itu yang terucap dari bibir
Martoloyo sambil menghunus keris Kyai Sepuh. Martopuro hanya mengangguk kepala
sedikit seolah memberi hormat dan tanpa ragu mencabut keris andalanya Kyai
Kasur. Maka Perang tanding pun tak terelakkan antara dua saudara seperguruan
atas nama membela keyakinannya. Perkelahian yang sangat luar biasa, gerakan
lincah dan mantap diperagakan oleh dua saudara seperguruan itu. Duel yang
berlangsung seimbang, dan kedua senopati pilih tanding Mataram tersebut
akhirnya menemui ajal bersama, mati sempyuh bermandikan darah oleh tusukan
keris masing-masing.
Martoloyo dimakamkan jauh dari tlatah Tegal. Di lereng Gunung Sindoro,
jasad sang “pemberontak” bersemayam dengan damai. Tepatnya di Dusun Giyanti,
Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto Wonosobo. Warga Dusun Giyanti sangat
menghormati dan menjaga makam tersebut dengan melakukan upacara Suran Giyanti.
Ritual yang dilakukan untuk membersihkan makam Tumenggung Martoloyo
dilaksanakan setiap malam Jum’at Kliwon di bulan Syuro.
Saksi Bisu Pemberontakan Kutil Jembatan Merah |
Nb: Sumber www. kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar