Kamis, 03 Agustus 2017

PARA PEMBERONTAK DARI KADIPATEN TEGAL


(Kutil dan T. Martoloyo)

Nama aslinya Sakhayani. Berprofesi sebagai tukur cukur di seberang pasar Talang. Namun nama Kutil lebih dikenal pada sosok “jagoan” tersebut. Kutil mungkin bukan seorang politisi yang lihai dan memiliki perhitungan matang dalam setiap langkah dan gerak politiknya. Lahir dari kalangan rakyat kecil biasa. Memang di daerah Tegal kondisi saat itu banyak pergerakan politik dari aktivis-aktivis yang muncul dari berbagai latar belakang ideologi, baik Islam, sosialis dan komunis. Kutil sendiri tidak terindikasi sebagai anggota organisasi apapun yang saat itu banyak dibentuk oleh kelompok-kelompok pergerakan kebangsaan.
Peristiwa geger Kutil meletus beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Situasi yang penuh ketidakpastian, ketika pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri belum mampu merombak sistem pemerintahan di daerah-daerah termasuk di Tegal dan sekitarnya. Bupati , Camat, hingga Lurah masih banyak yang dipegang oleh pejabat lama dari kalangan bangsawan yang hampir semuanya diangkat dan disetujui oleh pihak VOC hingga pemerintahan Kolonial Belanda. Mereka menjadi pejabat yang bekerja untuk Belanda dan ketika Jepang datang, perilaku para pejabat tersebut tidak berubah, berganti mengabdi pada tuan baru mereka.
Maka ketika Jepang mulai meninggalkan tanah jajahannya akibat kalah perang dengan sekutu, terjadi kekosongan pemerintahan di hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Tegal, Brebes, dan Karisidenan Pekalongan. Sementara pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk masih sibuk berbenah menyusun pemerintahan di Jakarta. Para pejabat tersebut tidak lagi memiliki beking yang menopang kekuasaan mereka.
Perilaku yang menghamba pada penjajah baik Belanda maupun Jepang dengan menindas rakyat, menjadikan mereka sasaran empuk dan pelampiasan kemarahan rakyat yang sudah terjajah ratusan tahun. Saat itulah Kutil tampil memimpin rakyat yang marah menggeruduk kantor-kantor pemerintahan dan menahan para pejabat tersebut. Gerakan spontanitas berubah menjadi liar dan tak terkendali. Para Bupati, Camat dan Lurah yang punya jejak rekam sebagai penindas diseret dan diarak di jalanan. Pakaian kebesaran mereka dilucuti dan diganti dengan karung goni. Gerakan tersebut terkenal dengan istilah “dombreng” yakni mengarak para pejabat tersebut di jalan umum dengan diiringi tetabuhan dari berbagai macam benda yang berbunyi dengan diteriaki “dombreng-dombreng-dombreng” sebelum mereka dihukum mati atau dieksekusi oleh rakyat di jembatan merah (orang tegal biasa menyebut brug abang) Talang.
Rakyat yang eforia atas diproklamasikan kemerdekaan Indonesia hingga menjadi ketidaksabaran rakyat yang selama ini hidup tertindas mempercepat gerakan tersebut meluas yang akhirnya disebut Gerakan Tiga Daerah, Tegal, Brebes, dan Pekalongan. Bahkan Jenderal Soedirman sebagai penguasa militer saat itu mengaku bingung dengan peristiwa tersebut.
Gerakan rakyat yang spontan dalam rangka menuntut keadilan dan otonomi kehidupan yang lebih baik terlanjur divonis Presiden Soekarno sebagai gerakan pemberontakan melawan pemerintah yang sah. Soekarno dengan emosi sempat menyatakan bahwa tiga daerah tersebut ingin menjadi negara sendiri. Maka operasi militer menjadi jalan pintas bagi penguasa dalam menangani gejolak di daerah-daerah tersebut. Para pemimpinnya ditangkap termasuk Kutil. Namun hukuman yang diterima mereka berbeda-beda, Abu Sujai, Bupati Tegal yang diangkat oleh gerakan tersebut oleh pemerintah saat itu hanya diusir dan tidak boleh menetap di daerah Tegal. Bahkan tokoh-tokoh dari latar belakang sosialis dan komunis, mereka dibebaskan bahkan banyak yang mendapat posisi di perusahan-perusahaan milik pemerintah, salah satunya PJKA (sekarang PT KAI). Kutil sendiri  sempat lolos dan melarikan diri  ke Jakarta (masih diduduki Belanda saat itu), namun berhasil ditangkap dan akhirnya berhadapan dengan regu tembak.
Eksekusi hukuman mati terhadap Kutil dilaksanakan di pinggir pantai Pekalongan, tanggal 5 Mei 1951. Menolak ditutup matanya Kutil menyongsong peluru yang menjemput kematiannya. Pintu air Pesayangan dan jembatan merah Talang masih kokoh berdiri,  membisu, saksi dari segala kekejaman dan nafsu membunuh antar manusia. Riak air Kali Gung  terus mengalir membawa segala macam aroma sisa kehidupan manusia hingga bermuara di laut jawa.
Seorang teman mengirim pesan lewat blackberry messenger, “kemenangan memiliki banyak ibu, sementara kekalahan adalah yatim piatu”. Pemberontakan tiga daerah yang dipimpin Kutil nasibnya berakhir seperti anak yatim piatu, kekalahan membawa seorang Kutil mendekam sendirian di penjara Pekalongan, dalam kesunyian menanti tiba ajalnya menghampiri. Banyak orang sinis dan mencibir sebagai gerakan gerombolan petualang politik, “preman,” penjahat dan Kutil. Bahkan banyak kalangan masyarakat di Tegal seperti tabu menceritakan peristiwa tersebut  dan berusaha menghapus  sejarah kelam dari ingatan mereka.
Sementara Trunojoyo yang mati ditikam keris Amangkurat II, karena melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan mengingkari perjanjian untuk menyerahkan tahtanya, orang menyebutnya sebagai Pahlawan, berbeda dengan Sakhayani alias Kutil yang mati dalam kesepian dan kenestapaan. Bahkan jejak kuburnya juga seperti hilang ditelan bumi.
Rintik gerimis berlalu, semburat cahaya matahari bersembunyi dibalik awan. Kompleks makam Sunan Amangkurat I yang jaraknya beberapa ratus meter dari jembatan Talang terasa sunyi. Hanya terdengar anak-anak kecil bermain di sekitar pelataran makam raja Jawa yang mati mengenaskan karena diracun oleh Putra Mahkotanya sendiri, sementara Trunojoyo dan laskar Madura berhasil memporakporandakan kehormatan sekaligus singgasananya dan mengusir anak keturunan Sultan agung tersebut dari tempat bertahtanya. Misteri kehidupan para penguasa yang terkadang tidak bisa dimengerti oleh kita orang biasa. Demi kekuasaan bapak dan anak berusaha saling membunuh, dan putra mahkota berhasil meracuni ayah kandungnya sendiri, hingga dikutuk  anak keturunannya tidak ada yang akan menjadi raja. Bahkan konon tidak boleh mengunjungi makam Amangkurat I sebagai leluhurnya hingga kini.
Tumenggung Martopuro Adipati Jepara tidak kuasa melawan titah junjungannya Sri Susuhunan Amangkurat II untuk membawa Tumenggung Martoloyo hidup atau mati. Perintah tersebut adalah puncak kemarahan dari Amangkurat II kepada Martoloyo yang “wengkel” mbalelo terhadapnya. Perintah raja Mataram itu tidak boleh ditolak karena perintahnya adalah hukum, bahkan raja adalah hukum itu sendiri. Peristiwa itu terjadi ketika diadakannya pertemuan agung seluruh adipati se-jawa yang masuk wilayah Mataram. Pertemuan yang digagas Laksamana Cornelis Speelman utusan Gubernur Jenderal VOC Mr. Maetsuyke yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Jepara tahun 1676. Hasil pertemuan tersebut adalah ditanda tanganinya kesepakatan bahwa Mataram harus menyerahkan pesisir jawa kepada Belanda sebagai kompensasi atas bantuannya memadamkan pemberontakan Trunojoyo.
Kompeni Belanda mengetahui kalau Tumenggung Martoloyo sejak awal sangat menentang perjanjian tersebut. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, demikian peribahasa mengatakan. Pertemuan Jepara tersebut selain menguntungkan VOC mendapat wilayah pesisir jawa secara legal, juga digunakan untuk mengipasi Amangkurat II agar melenyapkan Martoloyo, adipati pembangkang tersebut. Sikap blak-blakan Martoloyo yang dengan terang-terangan meninggalkan pertemuan tersebut membuat Kanjeng Sinuhun Amangkurat II murka. Sabda raja adalah mutlak, tidak ada satupun kawula yang boleh membantah apalagi menentangnya karena raja adalah Wenang wisesa ing sanagari.
Nabok nyilih tangan”. Amangkurat II sangat mengetahui kedigdayaan Martoloyo. Sebagai senopati Mataram yang pilih tanding dan punya pengalaman bertempur diberbagai wilayah jawa sejak zaman Sultan agung, Martoloyo tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka siasat dijalankan, Tumenggung Martopuro sebagai saudara seperguruan, satu ilmu satu guru diutus untuk “membereskan” Martoloyo.
Martopuro segera menyusul Martoloyo ke Tegal. Sebagai kawula yang mengabdikan dirinya pada Sri Sinuhun Amangkurat II, ia  tidak punya pilihan lain, bagai makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Titah raja adalah sabda pandito ratu, tidak boleh dibantah dan tak terbantahkan. Raja yang gung binathara, bahu dendha nyakrawati. Namun Martoloyo juga bukan hanya sekedar saudara seperguruan, perjalanan panjang bahu membahu melang melintang dalam pelbagai pertempuran menengakkan panji-panji Mataram membuat hubungan kedua Tumenggung tersebut sangat dekat melebihi saudara. Maka, meski dengan berat hati Martopuro menemui Martoloyo.
Martoloyo seorang keturunan bangsawan yang berbudi luhur, tidak suka dengan kekuasaan yang menindas pada akhirnya ingin melepas jabatan adipati yang disandangnya. Baginya seorang raja seharusnya berbudi bawa laksana, ambeg adil marta dan anjaga tata tentreming praja. Tidak seperti Amangkurat II yang justru menindas rakyat dan menghamba kepada kompeni Belanda demi kehidupan yang mewah diatas penderitaan rakyatnya sendiri. Namun belum sempat niatnya terlaksana, Martopuro sudah mendatanginya.
Disebuah pertigaan di tengah kota Tegal, keduanya berhadapan, saling menatap, masing-masing membisu, segurat keraguan terlihat di wajah kedua kesatria tersebut. setelah sejenak menghela nafas  Tumenggung Martoloyo berucap lirih “silahkan adi Martopuro”. Hanya itu yang terucap dari bibir Martoloyo sambil menghunus keris Kyai Sepuh. Martopuro hanya mengangguk kepala sedikit seolah memberi hormat dan tanpa ragu mencabut keris andalanya Kyai Kasur. Maka Perang tanding pun tak terelakkan antara dua saudara seperguruan atas nama membela keyakinannya. Perkelahian yang sangat luar biasa, gerakan lincah dan mantap diperagakan oleh dua saudara seperguruan itu. Duel yang berlangsung seimbang, dan kedua senopati pilih tanding Mataram tersebut akhirnya menemui ajal bersama, mati sempyuh bermandikan darah oleh tusukan keris masing-masing.
Martoloyo dimakamkan jauh dari tlatah Tegal. Di lereng Gunung Sindoro, jasad sang “pemberontak” bersemayam dengan damai. Tepatnya di Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto Wonosobo. Warga Dusun Giyanti sangat menghormati dan menjaga makam tersebut dengan melakukan upacara Suran Giyanti. Ritual yang dilakukan untuk membersihkan makam Tumenggung Martoloyo dilaksanakan setiap malam Jum’at Kliwon di bulan Syuro.



Saksi Bisu Pemberontakan Kutil Jembatan Merah


Nb: Sumber www. kompas.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah Candi (Salah Satunya yang berada di Tegal)

CANDI KESUBEN Tanah peradaban, tanah mata rantai. Dua keyakinan besar di masa lampau, Hindu dan Buddha, terekam jelas di sini. Lewat ...