MR. BESAR
MARTOKOESOEMO (1894 - 1980)
(Advokat
Pertama di Indonesia)
Besar
Mertokusumo atau dikenal juga dengan Mas Besar Martokoesoemo adalah
seorang pengacara atau advokat pertama Indonesia dan wali kota (Shi-co) Tegal
yang lahir di Brebes, 8 Juli 1894. Ia menikah dengan
Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai empat orang anak yaitu Mas Roro Marjatni,
Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro merupakan wali kota
bangsa Indonesia Pertama serta tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kemudian, pada Juni
1944 Ia diangkat sebagai Bupati (Ken-Co) Tegal, dan menjadi Wakil Residen
Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada Juni 1945.
Mantan
Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai
mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere
School-ELS) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian,
lulus dari Rechtschool di Jakarta,
kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus
pada 1922.
Di satu masa
dalam hidupnya ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman dan
pada tahun 1970 ia ikut mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI).
Dari beberapa
fakta sejarah tentang Mr. Besar, dari apa yang sudah saya baca, mereka-mereka
yang menjadi pengagum dan muridnya memiliki pendapat yang sama tentang beliau: Mr.
Besar adalah sosok yang bersahaja, nyaris tanpa prasangka, pendiam namun
memiliki kewaspadaan intelektual, nasionalis sejati, dan sangat benci tindak
korupsi. Ia lebih memilih diskusi untuk mencari jalan keluar perbedaan. Ia
bukan seorang revolusioner. Mr. Besar berjuang lewat koridor hukum.
Peranan sebagai pengacara / advokat
Siapa advokat
pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama
seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Suardi Tasrif. Mereka memang
dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering
menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak asasi manusia dalam proses
hukum.
Sebenarnya, advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tidak ada nama jalan yang mengutip namanya. Sampai saat ini, belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama.
Sebenarnya, advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tidak ada nama jalan yang mengutip namanya. Sampai saat ini, belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama.
Beruntunglah
kita memiliki Daniel S. Lev yang banyak menyinggung kiprah Besar dalam dunia
advokat. Banyak buku sejarah advokat yang lahir belakangan bersumber dari buku
Daniel yang bertajuk Hukum dan Politik di Indonesia. Dalam buku itulah, Daniel
memperkenalkan sosok Besar Mertokusumo sebagai advokat pertama di Indonesia.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui hal itu. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Ia memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktik advokat, sosok Besar juga sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui hal itu. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Ia memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktik advokat, sosok Besar juga sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.
Dalam buku
Daniel S. lev, sosok Besar digambarkan sebagai advokat yang sering membela
terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar
menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di Tegal,
Jawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan
kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada.
Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal.
Ketika
berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tidak senang dengan perlakuan
pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang
Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan.
Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang
Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat
bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu
membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya
sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.
Setelah firma
hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor
barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain: Sastromulyono,
Suyudi, dan lain-lain. Pernah suatu waktu, gaji advokat di kantor itu 600
golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika zaman malaise
(krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.
Sebelum terjun
ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan.
Pekerjaan itu diperoleh setelah lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja
beberapa tahun, kemudian hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana
hukum, bersama dengan sebelas pelajar lainnya dengan kuliah di Universitas
Leiden.
Kaum pribumi yang
belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatera, dan keturunan
Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara
pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana
muda hukum. Sedang mereka yang cerdas dapat meraih penuh gelar sarjana hukumnya
di negeri Belanda, yang statusnya disamakan dengan kelompok yang langsung
sekolah di Belanda.
Pada umumnya, sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokat. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.
Pada umumnya, sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokat. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.
Minimnya jumlah
advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia.
Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia
politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu, kesulitan itu bukan
kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan
keturunan keluarga kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat
Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene dekat dengan
lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.
Profesi advokat
tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang mentereng
layaknya jabatan di pemerintahan. Begitu pula dengan keluarga Besar, awalnya
keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong
praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa.
Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut, ia tetap memilih menjadi
pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia
mengakhiri kariernya sebagai advokat pada 1942.
Penghargaan
Berdasarkan
Kepres No.048/ TK/ 1992 tanggal 17 Agustus 1992 (secara anumerta) mendapatkan
Bintang Mahaputra Utamaatas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara. Meninggal
dalam usia 86 tahun dan di makamkan di Makam Giritama, Tonjong Parung Bogor.
Pak Besar (ketiga dari kiri) beserta kakak dan adiknya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar