Sabtu, 26 Agustus 2017

Kearifan Lokal Ing Tlatah Tegal

Kearifan Lokal Tlatah Tegal
A.    Sejarah  Tegal hingga  Masa Mataram
Tegal merupakan penjelmaan dari sebuah desa yang bernama “Teteguall” yang pada tahun 1530 telah nampak kemajuannya dan termasuk wilayah Kabupaten Pemalang yang mengakui Trah (Kerajaan) Pajang. Ada beberapa sumber mengatakan sebutan “teteguall”   ini diberikan oleh seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pieres yang pernah singgah di pelabuhan Tegal sekitar tahun 1500-an. Tome Pieres adalah penjelajah sekaligus saudagar yang menjual hasil-hasil pertanian dan gula. Menurut catatan Tome Pieres, pada waktu itu perdagangan di Tegal didominasi oleh orang-orang India dan Tionghoa.  (Soepoetro, 1955)[1] yang memiliki arti tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Soemarno, Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984).
Secara historis dijelaskan bahwa eksistensi sejarah Tegal tidak lepas dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput (kelak bernama Pangeran Onje) ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan Kerajaan Majapahit.
Penekanan pada bidang pertanian, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarian dimulai dari ketokohan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bangsawan ini (Ki Gede Sebayu) adalah saudara dari Raden Benowo. Bahkan kalau dirunut keagrarian itu dimulai semenjak Mataram Kuno. Selain berhasil memajukan pertanian, Ia juga merupakan ahli agama yang telah membimbing warga masyarakat dalam menanamkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas keberhasilan usahanya memajukan pertanian dan membimbing warga masyarakat dalam menanamkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ia diangkat menjadi pemimpin dan panutan masyarakat.
Ki Gede Sebayu, yang masih keturunan trah Majapahit. Ia memilih diam cegah dhahar lawan guling, karena prihatin. Bahkan pada saat suasana makin kacau karena perang saudara, Ki Ageng Ngunut (kakek Sebayu) mendesak Sebayu agar menyelamatkan Kerajaan Pajang. Namun, Sebayu menolak. Karena tidak merasa tega melihat penderitaan manusia akibat perebutan kekuasaan antar keluarga itu tidak kunjung reda. Ia melepas atribut kebangsawanannya dan mengembara mencari hakekat hidup. Sampailah dia di sebuah daerah penuh ilalang, padang rumput luas dengan sungai yang dialiri air yang bening sampai muara laut. Sungai itu adalah sungai Gung (Kali Gung). Sungai ini dinamakan Kali Gung sebab bersinggungan dengan mata air yang berasal dari Gunung Agung yakni sebuah nama kuno dari Gunung Slamet dan bermuara ke utara hingga laut jawa.
Ki Gede Sebayu terperangah melihat hamparan padang rumput luas yang nyaris tak berpenghuni itu. Di tengah- tengah hamparan padang rumput luas itu, Ki Gede Sebayu temukan persinggahan disana hanya ada beberapa bangunan semi permanen yang dihuni sejumlah santri dan sebuah makam keramat. Makam tersebut adalah tempat jenazah Sunan Panggung atau Mbah Panggung dikebumikan (sekarang bernama Kelurahan Panggung). Mbah Panggung yang bernama asli As-sayid al habib Abdurrohman Assegaf putra dari Sunan Drajat dan Dewi Condrowati yang merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Terbersitlah di benak Sebayu untuk mengajari warga pesisir itu bercocok tanam. Ia merasa menemukan persinggahan yang menjanjikan, sehingga menghentikan pengembaraannya. Diajaknya warga setempat membabat alang-alang agar jadi Tegalan. Selain itu, dia juga membuat bendungan di hulu sungai daerah Danawarih untuk dijadikan sumber air irigasi. Kesaksian ini diperkuat denga ditemukannya artefak kuno dan candi di desa Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris (De Graaf, 1986).[2]
Sementara itu, setelah perang panjang antar saudara mulai dingin Pangeran Benowo diangkat menjadi raja Pajang. Dia membutuhkan sepupunya Sebayu untuk menjadi patih. Ia pun mengutus sejumlah prajurit untuk mencari Sebayu. Di Desa Teteguall, tempat Sebayu bermukim, sepupu Benowo itu ditemukan. Namun, karena Sebayu tidak mungkin meninggalkan rakyat Teteguall, karena alasan tersebut Pangeran Benowo melantik dia menjadi juru demang atau sesepuh Desa Teteguall. Anugerah sebagai sesepuh desa diberikan pada malam Jumat Kliwon, 15 Sapar Tahun 988 Hijriah, atau tahun 588 EHE. Waktu itu bertepatan dengan 12 April 1580 Masehi.
Pengangkatan Ki Gede Sebayu menjadi Pemimpin pertama Tegal dilaksanakan pada perayaan tradisional setelah menikmati hasil panen padi dan hasil pertanian lainnya. Dalam perayaan juga dikembangkan ajaran dan budaya agama islam yang hingga sekarang masih berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
Antara abad ke 10 sampai 16 kemungkinan di wilayah Tegal ada sistem pemerintahan atau dikuasai kerajaan kecil, sebab menurut catatan Rijklof Van Goens dan data di buku W. Fruin Mees, disebut kalau sekitar tahun 1575 daerah itu termasuk daerah merdeka yang dipimpin oleh raja kecil atau pangeran. Pendapat ini juga di dukung di buku “The History of Java” karya Raffles yang menyatakan kalau ada kerajaan kecil yang benama kerajaan Mandaraka (ada juga yang menyebut kerajaan Salya) di sekitar wilayah Tegal.[3]
Kerajaan Mataram mulai menguasai Tegal setelah penyerangan pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Seda Krapyak. Sebagai bagian dari kerajaan Mataram, wilayah Tegal mendapat status Kadipaten dan Ki Gede Sebayu diangkat oleh Panembahan Senopati (Raja Mataram) menjadi Juru Demung (Setingkat Tumenggung).
Menurut riwayat daerah, pada zaman mataram tiap-tiap kadipaten mempunyai “lambang” yang menggambarkan tabiat penduduknya atau sifat daerahnya. Maka, Kadipaten Tegal memiliki lambang “BANTENG LORENG BINONCENGAN” yang berarti “seekor banteng berwarna belang-belang yang dinaiki oleh seorang anak kecil”. Lambang ini menggambarkan tabiat penduduk Tegal yang gagah berani (banteng) dan agak kasar (loreng), akan tetapi pada hakekatnya dapat dituntun oleh orang/pemimpin yang lemah lembut dan ramah tamah yang tidak mempunyai maksud buruk. Salah satu gambaran tersebut adalah Adipati Tumenggung Martoloyo dapat dianggap sebagai penjelmaan yang tepat dari lambang Tegal “banteng loreng binoncengan” itu.
Selanjutnya, Tegal menjadi wilayah Belanda ditandai dengan adanya pembangunan benteng-benteng VOC di Semarang, Jepara, Pekalongan, dan Tegal tahun 1746. Pada tahun 1729 Paku Buwono II raja kesultanan Surakarta (eks Mataram) dipaksa menanda tangani perjanjian bahwa kerajaan Mataram diserahkan tanpa syarat kepada Belanda dengan demikian Tegal yang merupakan bagian dari Mataram diserahkan pula kepada pemerintah Hindia Belanda (G.G Van Imhoff.1749).
Demikianlah Sejarah Tegal sampai masa penjajahan kolonial Belanda hingga berakhirnya Penjajahan Belanda dan Jepang masuk menguasai Indonesia tahun 1940’an. Serta era kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

B.    Ragam Kebudayaan Orang Tegal
Kebudayaan lokal Tegal adalah menginduk ke budaya induknya yaitu budaya/suku jawa, hanya saja ada sedikit perbedaan yang timbul dan menimbulkan kekhasan budaya Tegal sendiri. Baik dilihat dari dialek bahasa, tutur kata, kesenian, filosofi, dan pandangan hidup serta aspek lainnya.
Dalam bagian bab ini, penyusun menyajikan sedikit gambaran budaya Tegalan dilihat dari sisi filosofi, sifat watak orang Tegal, kebiasaan dan adat istiadat, kesenian, serta bahasa jawa berdialek Tegal yang khas.

A.    Filosofi dan watak orang Tegal
Menurut Prof. Dr. Suparman Sumamiharja, filosofi watak dan sifat orang Tegal terkandung dalam masing-masing huruf, sehingga membentuk kata “T.E.G.A.L”. Berikut penjabarannya:
T : Tatag/Teteg yang berarti penuh percaya diri, tidak mengenal takut atau pakewuh. Mereka (orang Tegal) tidak pernah merasa rendah diri bagaimanapun penampilannya. Bahkan kebanyakan mereka merasa tidak perlu menggunakan bahasa kromo (kasta bahasa tertinggi dalam bahasa jawa) dalam komunikasi sehari-hari.
E : Eling yang artinya ingat atau sadar, orang Tegal memiliki kesadaran tinggi dalam setiap tingkah lakunya. Mereka mengetahui dalam posisi mana mereka dan akan melakukan tindakan yang sesuai (watak wiraswastawan).
G : Gesit menunjukan sifat orang Tegal yang gesit dalam memandang lingkungan. Barang-barang rongsokan yang dianggap tak berguna bagi mereka akan dipandang sebagai barang berpotensi bisnis, sehingga di sepanjang jalan raya Tegal-Slawi berserakan rongsokan atau barang-barang bekas yang diperjual belikan (contoh: pasar loak jalan jati, pasar ireng, pasar loak banjaran) maupun yang akan didaur ulang untuk dimanfaatkan kembali menjadi barang yang berguna. Misalnya: olahan besi yang dicetak dan diproses dengan mesin akan menjadi barang baru khas produksi home industri, sebabnya Tegal dijuluki “Jepangnya Jawa/Indonesia”.
A : Alim, berarti taat menjalankan agama. Ada asosiasi bahwa orang Tegal itu identik dengan santri. Tegal juga merupakan basis massa dari ormas-ormas keagamaan yang ada di Indonesia, seperti : NU, Muhammadiyyah, Persis, Makin, dll
L : Lugas yang bisa diartikan orang Tegal itu biasa tampil apa adanya, tanpa banyak formalitas. Mereka tidak biasa berbasa-basi, bahkan kadangkala terkesan kasar, primitif dan naif. Sebagai tanda keakraban mereka biasa bersapa dengan makian atau umpatan dengan menyebut nama-nama binatang contoh: (maaf), Kunyuk Raimu, dll. Hal tersebut seperti yang kerap diungkapkan seniman Sudjiwo Tedjo yang tenar dengan kata (maaf) Jancuk’nya. Penampilan dalang wayang golek Tegalan Ki Enthus Susmono misalnya merupakan prototipe keramahtamahan orang Tegal yang sepintas barangkali terkesan liar.

B.    Adat Kebiasaan Pemberian Nama Orang Tegal
Adat istiadat yang akhirnya melahirkan kebiasaan yang mengakar yang terkesan primitif. Hal ini pula yang terjadi pada lingkungan masyarakat Tegal. Bagi suku Jawa umumnya, Nama mermpunyai makna yang penting dan dianggap mempunyai pengaruh pada orang yang menyandang nama tersebut (Kartohadikusumo,Sutardjo, Buku Desa)
Orang Tegal pun mempunyai pandangan dan filosofi dalam masalah nama yang tidak jauh berbeda dengan orang Jawa pada umumnya, hanya saja terdapat sedikit perbedaan dimana masuknya unsur-unsur mistis, primbon yang berkaitan dengan perhitungan nasib baik dan buruk yang lazim dikenal dengan istilah Petungan.
Berikut adalah cara orang Tegal memberikan nama kepada anaknya yang didasarkan pada hari lahir:
1.     Lahir hari Ahad/Minggu : diawali dengan huruf Ka, contoh: Karsid, Karsem, Kasman, Kartono, Kariyah dan lain-lain.
2.     Lahir Hari Senin : diawali huruf Ra, contoh: Rasbun, Raswad, Rasuti, Rakijan, Rasmali dan lain-lain.
3.     Lahir Hari Selasa : diawali huruf Ca, contoh: Carmun, Caridah, Casem, Carmad dan lain-lain.
4.     Lahir Hari Rabu : diawali huruf Ta, contoh: Taswad, Tanyem, Taridi, Tarno, Tareni dan lain-lain.
5.     Lahir Hari Kamis : diawali huruf Sa, contoh: Sayem, Sarjum dan lain-lain.
6.     Lahir Hari Jum’at : diawali huruf Da, contoh: Darmad, Dasman, Darno, Danisah, Daslam, Danipah dan lain-lain.
7.     Lahir Hari Sabtu : diawali huruf Wa, contoh: Wasmad, Warsiti, Warjo, Wastap, Wasni dan lain-lain.

C.    Pakaian dan Rumah Adat Khas Tegal
Dilihat dari segi wilayah, meskipun Tegal masuk ke dalam wilayah mataram, namun letaknya jauh dari pusat kerajaan Mataram sehingga mendapat pengaruh budaya dari tatar sunda dan etnik pesisir yang identik dengan kesederhanaan rakyat jelata.
Di buku Tegal Stad: Evolusi Sebuah Kota pada halaman 16 terdapat gambar pasangan berbusana pakaian adat khas Tegal pada laki-laki menggunakan ikat kepala wulung, celana komprang, dan ikat pinggang sarung. Sedangkan bagi wanita menggunakan kebaya hitam dengan bawahan jarit batik khas Tegal. Namun sekarang ini, pakaian tersebut mengalami beberapa perubahan, pada laki-laki tidak menggunakan sarung, namun batik khas Tegal yang dililitkan ke pinggang. Untuk wanitanya sendiri penggunaan jarit tidak sampai ke bawah, hanya sampai di bawah lutut, tidak sampai menutup mata kaki.
Motif batik yang digunakan pun salah satunya menggunakan motif Parang Akik. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa motif batik Tegalan didominasi oleh motif flora dan fauna. Dan rumah adat khas Tegal adalah model potong inten (limasan kilen) (Yono Daryono.2008).[1]



                                                  Gambar 1 Rumah Adat Khas Tegal
A.    Ragam Kesenian Tegal
Kesenian merupakan salah satu unsur-unsur kebudayaan. (Parsudi Suparlan: 2005) Berikut adalah berbagai jenis kesenian yang hidup dan berkembang di daerah Tegal. Seperti; seni tari, seni wayang golek Tegalan, Seni musik balo-balo seni sastra, seni batik Tegalan, bahasa Tegalan, ritual, dan upacara adat. Tari Topeng juga merupakan salah satu warisan seni budaya yang ada di Tegal. Dahulu ada sekitar 12 jenis Tarian Topeng yang ada di Tegal, namun hanya ada 7 yang berhasil diidentifikasi yaitu :
  1. Tari Topeng Endhel, Hanya bisa ditarikan oleh perempuan sebab tari ini mempunyai karakteristik lenjeh, gemulai, dan terampil.
    Tari Topeng Endhel Tegal
  2. Tari Topeng Panji, menggambarkan tokoh panji gagah berani dan berwatak halus.
    Tari Topeng Panji Tegal
  3. Tari Topeng Kresna, menggambarkan karakter tokoh pewayangan Kresna yang bersifat                            cerdik, sakti, berwibawa, tidak sombong, arif dan bijaksana.
    Topeng Kresna Tegal
  4. Tari Topeng Layapan Alus, menggambarkan tokoh Bambangan seorang ksatria yang                                 gagah berani, cerdik, tangkas, berwatak halus, dan berbudi luhur.
  5. Tari Topeng Patih/Ponggawa, menggambarkan seorang patih/ksatria yang gagah berani,                           cerdik, dan berbudi luhur.
    Topeng Patih/Ponggawa Tegal
  6. Tari Topeng Kelana, menggambarkan karakter tokoh kelana yang gagah berani, cerdik,                             tangkas dan baik hati, gerakannya tegap, dan lincah.[1]

  7. Tari Kunthulan, tari ini memadukan unsur beladiri, ralat musik rebana, dan syair                                sholawatan.
    Tari Kunthulan Tegal
Serta masih banyak lagi ragam seni tari Tegal yang kemungkinan masih belum tercatat dan diketahui khalayak. Disamping itu, Tegal juga mempunyai upacara dan ritual adat yang kerap kali digelar secara periodik. Diantaranya yaitu Sedekah Laut oleh nelayan pesisir, Sedekah Bumi, Rebo Kasan/Pungkasan, Mantu Poci, Methikan (Manten Tebu), Ruwat Bhumi Guci, Jamasan Pusaka Astana Amangkurat II.

A.    Bahasa Tegal
Bahasa Tegal adalah alat tutur dan sarana komunikasi yang berakar dari entitas masyarakat Kabupaten/Kota Tegal serta sebagian masyarakat Kab. Brebes dan Pemalang. Bahasa ini hidup dan berkembang selama berabad-abad sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno, sebagaimana bahasa-bahasa Jawa yang lain, yang berada di wilayah Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Kedu Rembang, Surabaya, Malang, Banyumas, Cirebon, dan Banten (Poerwadarminta 1953/Uhlenbeck
1964).
Bahasa-bahasa tersebut memiliki derajat kerumitan dan keunikan masing-masing. Halus dan kasar sebuah bahasa sebenarnya tergantung siapa penuturnya dan dalam kontek atau suasana apa si penutur berkomunikasi.
Wilayah pengguna Bahasa Tegal karena posisinya yang jauh dari pusat budaya kraton nyaris tidak tersentuh dengan apa yang disebut “budaya adiluhung”. Masyarakat Tegal memiliki bahasa dan budaya Jawa tersendiri yang lebih demokratis dan a-feodalistik. Bahasa Tegal tidak mengenal strata (tingkatan) ketiga yang disebut “kromo inggil”, tetapi hanya mengenal “ngoko” dan “bebasa”. Bahasa Tegal menjadi bahasa yang terbuka dan mudah menerima serapan bahasa asing. Bahasa Tegal juga tidak pernah diajarkan di sekolah, sehingga bahasa ini berkembang dengan liar, tanpa memiliki paramasastra dan ejaan yang baku.
Strata bahasa yang diikuti dengan diskriminasi strata sosial, yakni adanya masyarakat golongan “priyayi” dan golongan “rendah” menyebabkan Bahasa Tegal mengidap beban budaya dengan stigmatisasi sebagai bahasa yang kasar, tidak punya unggah-ungguh, dan tata-krama. Padahal setiap etnis dan bahasa ibu memiliki karakter masing-masing, bagaimana bahasa tersebut memiliki ungkapan-ungkapan honorifik sebagai penghormatan kepada lawan bicara. Bahasa Tegal-pun memiliki ungkapan honorifik yang khas dan spesifik, tidak sama dengan bahasa Jawa baku.[1]

B.    Budaya Orang Tegal Sebagai Sebuah Kearifan Lokal
Budaya Tegal sebagai suatu kearifan budaya lokal yang juga menjadi aset kekayaan budaya bangsa Indonesia. Ada beberapa pengertian kearifan budaya lokal yang dicetuskan oleh beberapa pemikir dan ahli sosial.
Pakar ilmu-ilmu sosial menangkap perilaku pola hidup masyarakat tradisional dengan mendefinisikannya menjadi kearifan budaya lokal. Mereka mengatakan, kearifan budaya lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman dan interaksi mendalam akan lingkungan tempat tinggalnya. Kearifan budaya lokal berasal dari masyarakat untuk masyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi, menyebar, menjadi milik kolektif, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat setempat. Masyarakat memanfaatkan tata atur kearifan lokal untuk menegaskan jatidiri dan bertahan hidup.
Kearifan budaya lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. (Caroline nyamai-kisia. 2010)
Kearifan budaya lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan budaya lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan budaya lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan budaya lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. (Gobyah. 2003)
Kearifan lokal dalam budaya Tegal dapat ditelusuri melalui pelbagai kajian misalnya bahasa, kesenian tradisional, peninggalan sejarah (situs), cerita rakyat, tatacara dan upacara, bahkan makanan dan busana. Masih banyak kearifan lokal lainnya yang perlu diadakan kajian dan inventarisasi guna menemukan nilai-nilai luhur dan filosofi yang terkandung di dalamnya. (M Hadi Utomo. 2011).[2]

DAFTAR PUSTAKA
Abidin ZA & Saebani AB. 2013. Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia..
Daryono, Yono dkk. 2008. Tegal Stad Evolusi Sebuah Kota. Tegal: Kantor Informasi dan Humas Kota Tegal.
Graff, HJ. De.  1986, 1987. Awal Kebangkitan Mataram sampai Runtuhnya Istana Mataran (5 jilid) dan Terbunuhnya Kapten Tack. (terjemahan dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Grafiti Press dan KITVL.
Harian Pagi Radar Tegal. edisi 1 Desember 2014.
Judistira K Garna. 2008. Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan. Bandung: Lemlit Unpad.
Raffles, Thomas Stamford. 2008, The History of Java. Yogyakarta: Narasi.
Soemarno. 1984. Tegal Sepanjang Sejarah.  Tegal: Kantor Debdikbud Kabupaten Tegal.
Soepoetro. 1959. Tegal dari masa ke masa.  Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementrian PP dan K.
Su’ud Abu, 2003. Semangat Orang-orang Tegal. Tegal: Pemerintah Kota Tegal dan Masscom Media.


[1] Disampaikan dalam Seminar Budaya Kearifan Lokal Dalam Arus Modernisasi IMT Komisariat IAIN Walisongo Semarang Di Aula STIBN – Slawi Kabupaten Tegal (2 Juni 2011).
[2] M Hadi Utomo adalah pemerhati budaya lokal dan penyusun kamus bahasa Tegal. Naskah ini disampaikan dalam sarasehan budaya.  




[1] Daryono, Yono dkk., Tegal Stad Evolusi Sebuah Kota. Tegal: Kantor Informasi dan Humas Kota Tegal. 2008, Hlm. 16.



[1]  Soepoetro, Tegal dari masa ke masa. 1955.
[2] De Graff, Awal Kebangkitan Mataram Sampai Runtuhya Istana Mataram. 1986.
[3] Raffles, Stamford T. The History of Java.narasi. 2008.

Sejarah Candi (Salah Satunya yang berada di Tegal)

CANDI KESUBEN Tanah peradaban, tanah mata rantai. Dua keyakinan besar di masa lampau, Hindu dan Buddha, terekam jelas di sini. Lewat ...