CANDI KESUBEN
Tanah
peradaban, tanah mata rantai. Dua keyakinan besar di masa lampau, Hindu dan
Buddha, terekam jelas di sini. Lewat kepingan dan bongkahan, batu bata atau andesit, kabupaten di
Jawa Tengah ini seperti mempertegas kisah tentang kejayaan dinasti Mataram
Kuno. Sebetulnya jejak itu telah terendus lama oleh warga, tapi arkeolog Tanah
Air baru belakangan memperdalamnya.
Di Desa
Kesuben, Kecamatan Lebaksiu, misalnya. Penggalian awal yang dilakukan peneliti
Pusat Arkeologi Nasional menemukan susuan bata berbentuk candi persegi panjang. Batu bata ini
tertanam di tengah perkampungan yang berjarak hanya selemparan tombak dari Kali
Adem, anak Sungai Gung, yang membelah kabupaten dan diperkirakan peninggalan abad ke-7
Masehi. Candi Kesuben
hanya berbentuk pondasi saja setinggi sekitar 15 cm dengan luas area 8,2 x 8,2
m2. Karena kondisinya berbentuk pondasinya saja, tim arkeologi menemui
kesulitan untuk merekonstruksinya kembali. Dari pondasi diketahui bahwa candi
kesuben pintu masuk candi tersebut menghadap ke timur yang berjarak selemparan
tombak (sekitar 500 meter) dari Kali Adem, anak Sungai Gung.
Pendirian candi
di nusantara sedikit banyak dipengaruhi Manasara Silpa Sastra, buku pintar kaum
Hindu di India dalam mendirikan bangunan suci. Kitab ini menganggap elemen air
menjadi unsur penting dalam pembangunan candi. Lebih dari 80 persen candi di Jawa Tengah dan
Yogyakarta berjarak kurang dari 500 meter dari sungai atau anak sungai.
Selama ini
warga setempat menyebut tumpukan bata ini sebagai bata wali. Candi kesuben
dibangun menggunakan batu bata merah dengan ukuran 30 x 20 x 10 cm tanpa
perekat sedikitpun. Namun menurut penuturan warga, dari dahulu, batu bata
tersebut teronggok begitu saja di pekarangan dan tidak berubah bentuk atau
tidak lapuk selama beberapa puluh tahun yang lalu. Bata-bata ini juga diyakini
sebagai sisa bangunan rumah ibadah pada masa perkembangan Islam abad ke-15. Keyakinan warga
sesungguhnya tersamarkan. Sebab pada ciri utama Candi Kesuben ini terdapat
hiasan ornamental Hindu dan Buddha. Bahkan peneliti juga menemukan kepala kala
yang berlanggam era Kerajaan Mataram Kuno.
Tak cuma itu,
peninggalan Mataram Kuno juga terekam di Bumijawa. Berbeda dengan yang di
Kesuben, Candi Bumijawa terletak di lereng Gunung Slamet dan menggunakan batu
andesit. Napas Hindu begitu kental di
Candi Bumijawa. Hal itu berdasarkan temuan Lingga perwujudan Dewa Syiwa, satu
dari tiga dewa utama dalam agama Hindu.
Di lokasi penggalian juga ditemukan pasangan lingga,
yaitu Yoni, perwujudan Dewi Parwati, Sakti atau istri dari Dewa Syiwa. Penggalian
Kesuben sesunguhnya adalah penguraian benang merah jejak Mataram Kuno. Tiga
tahun sebelumnya, kemegahan dinasti Tanah Jawa ini terekam pula di dinding
Pustakasala atau Candi Kimpulan.
Candi ini diperkirakan berdiri pada abad ke-9 sampai
ke-10 masehi, di era pemerintahan Rakai Panangkaran. Syahdan, di sinilah dinamika Kerajaan Mataram Kuno tergurat dari
Wangsa Syailendra hingga keturunan Wangsa Sanjaya. Dilihat dari relief struktur
bangunan serta ukiran, Kimpulan adalah campuran antara agama Hindu dan Buddha. Candi ini
ditemukan tak sengaja di lokasi kampus Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
pada awal Desember 2009. Ketika itu tengah didiadakan penggalian untuk fondasi
proyek pembangunan perpustakaan. Kimpulan terkubur sekitar lima meter di bawah
tanah akibat letusan Gunung Merapi sekitar 1.000 tahun silam.
Di sini para
arkeolog menemukan Arca Ganesha dan Lingga Yoni di Candi Perwara atau
pendamping. Temuan yang mengejutkan karena Lingga Yoni biasanya hanya berada di
candi induk. Penemuan Kimpulan juga menjadi pertanda bahwa di tiap wilayah
Yogyakarta menjadi pecahan kecil teka-teki tentang Mataram Kuno. Pembabakan
candi di Tanah Jawa terdiri dari beberapa teori. Salah satunya adalah teori
kronologi. Periode abad ke-8 sampai ke-10 disebut klasik tua. Sedangkan untuk
klasik muda berkisar pada abad ke-10 hingga 16.
Masa klasik tua
identik dengan candi berbatu andesit. Klasik muda yang banyak dijumpai adalah
candi berbahan bata merah. Tapi penemuan candi di kesuben tergolong unik. Meski jenis
batuannya berbata merah, candi ini tak termasuk tipe klasik muda. Hal ini
disebabkan kondisi lingkungan sekitar candi yang memang cukup sulit ditemukan
bebatuan andesit. Candi jiwa. Candi ini tak terbuat dari andesit, tapi dari lempengan-lempengan
bata merah. Letaknya di Kompleks Percandian Batujaya, sisa-sisa percandian
Buddha kuno di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Pemakaian kata
jiwa ini muncul seiring perjalanan waktu. Sejatinya kata jiwa lebih dekat
dengan nama salah satu dewa dalam agama Hindu, Syiwa. Padahal, candi ini lebih
identik pada Buddha ketimbang Jindu. Dan di Buddha tak mengenal Dewa Syiwa. Tak
ditemukan pula di candi ini bangunan berupa tangga, sehingga wujudnya mirip
dengan stupa atau arca Buddha.
Sejumlah warga
setempat mengisahkan, kata jiwa berasal dari sifat unur atau gundukan tanah
candi yang dianggap mempunyai jiwa. Beberapa kali kambing yang diikat di
atasnya seketika mati. Situs percandian di Batujaya ini jauh lebih tua dari
periode Mataram Kuno. Dalam babak peradaban di Tanah Jawa, situs ini juga
penting.
Berdasarkan uji
karbon, lapisan budaya tertua di situs Batujaya berkisar abad kedua masehi atau
sejak masa peralihan dari prasejarah ke sejarah. Sedangkan yang termuda dari
abad ke-12 masehi. Klaim menyebutkan, situs ini berasal dari abad kelima. Ini
bisa diartikan peradaban di lumbung padi Jawa Barat ini lebih tua dari masa
Mataram Kuno. Termasuk klasik tua, Candi Jiwa juga menggunakan bata merah sebagai
bahan baku. Boleh jadi salah satu faktornya adalah lingkungan sekitar yang
memang jauh dari pegunungan tempat batu andesit berada. Keunikan ini mirip
dengan Candi Kesuben. Sama-sama tipe klasik muda, tapi berbahan baku bata
merah.
Sejauh ini
proses ekskavasi masih terus berlangsung di kesuben. penggalian dilakukan
dengan beberapa tahap. penemuan gerabah dan tembikar di candi kesuben telah
menandakan bahwa di sini kebidupan telah tumbuh. Menjadi bagian parade panjang
kejayaan dinasti Mataram Kuno di Tanah Jawa.
Untuk menuju
lokasi ini cukup mudah, dari jalan raya Tegal – Purwokerto, gerbang Desa
Kesuben lurus ke utara sekitar 1,6 KM melewati persimpangan rel kereta api
hingga mentok ke ujung desa. Transportasi dari gerbang desa menuju lokasi bisa
menggunakan becak atau ojek.
Sumber : Liputan6.com