Tips
Mendisiplinkan Anak ala Cak Munif Chatib
Kedisiplinan
pada dasarnya adalah daya tahan atau KELANGGENGAN sebuah peraturan di
jalankan oleh anak kita. Sedangkan peraturan tersebut dapat berupa instruksi
lisan atau tertulis.
Banyak
orangtua yang merasa puas dan merasa berhasil mendisiplinkan anaknya jika
anaknya sudah ‘KETAKUTAN’, ‘menurut’ dan melaksanakan semua peraturan
yang sudah diberlakukan oleh orangtua. Anak yang ketakutan dan menjadi penurut
apa yang diperintahkan oleh orangtua memang masih menjadi indikator
keberhasilan disiplin.
Namun
apa benar demikian?
Coba
bandingkan dua kondisi di bawah ini.
Kondisi
pertama, sebut saja si Iza, seorang putri
cantik sekolah di TK yang centil, Iza diperingati oleh mamanya dengan cara yang
keras, penuh tekanan dan ancaman untuk tidak membeli makanan (jajan) di sekolah
sebab tidak sehat. Dengan penuh ketakutan Iza mengangguk-angguk tanda setuju
terhadap peraturan tersebut. Sampai detik terakhir berpisah, sang mama tersebut
sempat memberi peringatan disiplin kepada anaknya. “Inget lho pesen mama
ya…jangan jajan, awas kalo ketahuan, mama hukum nanti.” Apa yang terjadi ketika
Iza sudah di sekolah dan melihat teman-temannya ramai-ramai membeli jajan. Iza
ragu-ragu untuk mendekat. Takut ancaman dari mamanya. Tiba-tiba seorang
temannya mengajak Iza untuk ikut membeli jajan. Spontan Iza menolak. “Gak boleh
ama mama.” Si teman tidak mau kalah. “Mamamu kan gak ada sekarang, jadi gak
mungkin tahu, ayo … enak lho jajannya!” Iza langsung menoleh ke kanan ke kiri,
begitu dia yakin mamanya tidak ada di sekitarnya, maka dengan senyum bahagia
Iza menuruti temannya untuk membeli jajan yang telah dilarang oleh mamanya.
Dalam kondisi seperti Iza rapuh dalam kedisiplinannya. Iza masih DAPAT
DIPENGARUHI OLEH LINGKUNGANNYA. Disiplin seperti ini adalah disiplin yang tidak
berhasil.
Kondisi
kedua, Ela didudukkan dengan manis oleh
mamanya, dan diberitahu kalau jajan di luar itu tidak sehat. Jenis-jenis
jajanan yang tidak sehat juga diberitahukan oleh sang mama, bahkan ditulis atau
ditunjukkan bungkus makanannya. Lalu Ela mendapat informasi juga dari mamanya
kenapa makanan/jajan ini tidak sehat. Sang mama memberitahu juga akibat ekstrem
apabila anak-anak sering makan jajanan tersebut. Penyakit yang mungkin timbul,
penderitaan anak pada saat sakit, kesulitan orangtua pada saat anaknya sakit,
dan lain-lain. Bahasa yang disampaikan kepada anak juga lembut, santun dan
sangat informatif. Tidak ada paksaan dan dilakukan dalam kondisi si anak santai
atau dalam kondisi ‘alfa’. Apa yang terjadi pada saat Ela berada di sekolahnya
dan teman-temannya merayu Ela untuk jajan yang sudah di larang oleh mamanya.
Ela dengan santainya menjawab, “Aku gak boleh jajan itu ama mamaku, sebab kata
mamaku jajanan itu gak sehat, bisa sakit, aku sudah diceritain susahnya kalo
sakit, ihhh sedih gitu. Kamu juga kalo bisa gak usah beli jajanan itu. Kalo
jajanan yang ada di kantin sekolah itu baru sehat. Kalo di luar ini tidak
sehat.” Lalu beberapa teman Ela melongo, mengangguk-angguk dan mengikuti
nasihat Ela. Dalam kondisi seperti ini Ela MAMPU MEWARNAI LINGKUNGANNYA dengan
kedisiplinannya. Dan disiplin inilah yang berhasil.
Dua
macam keberhasilan disiplin
Ada
dua macam keberhasilan disiplin, yaitu:
1.
Disiplin SEMENTARA
Yaitu
upaya disiplin yang mempunyai rentan waktu sementara, setelah itu disiplin akan
hilang. Kasus Iza adalah termasuk disiplin sementara. Iza berjanji akan
menuruti perintah orangtuanya pada saat keberadaan orangtuanya ada di
sekitarnya. Begitu di luar itu, disiplin akan hilang. Penyebab disiplin sementara
ini antara lain:
a. Model pemberian peraturan kepada
anak yang salah.
·
Anak
usia golden age (0 sampai 7 tahun) model pemberian aturannya dengan learning by
doing dan learning by example. Artinya anak belajar disiplin dengan cara
melihat perilaku orangtuanya dan mengambil contoh atau teladan dari
orangtuanya. Apabila dua hal penting ini tidak sesuai dengan apa yang sudah
menjadi peraturan anak, maka secara otomatis anak akan menghindari
kedisiplinan.
·
Anak
usia 8 tahun ke atas, peraturan dibuat dalam model-model peraturan tertulis,
lisan dengan berbagai macam format yang sangat luwes.
b. Cara pemberlakukan peraturan
kepada anak yang salah.
·
Cara
pemberlakuan disiplin yang terlalu bebas, akan mengakibatkan kekuatan peraturan
untuk ditaati menjadi lemah. Peraturan yang sudah dibuat sama sekali tidak
efektif. Anak tidak akan menghargai peraturan apapun yang berasal dariu
orangtuanya dan orang lain.
·
Cara
pemberlakuan disiplin yang terlalu keras dan kaku, juga akan berdampak negatif
pada anak. Perasaan tertekan, takut, anak mudah kehilangan kepercayaan diri,
tidak punya peluang untuk tumbuh dan berkembang, kepribadian, emosi, akhlak dan
rasa kemanusiaannya niscaya tidak akan terbentuk. Selain itu potensi dan
bakatnya tidak akan muncul.
·
Cara
pemberlakukan disiplin yang seimbang. Anak diberi pendahuluan pengetahuan
kenapa harus ada peraturan yang dimaksud. Peraturan hanya membatasi dan
mengatur kebebasan anak. Anak diberi kesempatan untuk menentukan
pilihan-pilihan. Dengan disiplin yang seimbang ini, maka anak akan tumbuh
menajdi pribadi yang berkembang, bertanggung jawab, menghargai orang lain dan
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
c. Tidak adanya apresiasi ketika
disiplin tersebut telah dijalankan oleh anak.
·
Setiap
anak yang melakukan upaya disiplin seyogyanya orangtuanya memperhatikan hal itu
dan memberikan respon berupa apresiasi.
·
Apresiasi
dapat berupa pujian terhadap perbuatan disiplinnya, sentuhan emosi positif,
seperti memeluk, mencium, mengusap rambut dan lain-lain.
2.
Disiplin PERMANEN
Yaitu
upaya disiplin yang mempunyai rentan waktu relatif panjang. Kasus Ela adalah
disiplin yang permanen. Disiplin inilah yang berhasil. Anak mempunyai
kedisiplinan internal dalam dirinya. Bahkan mampu menjelaskan kenapa harus
disiplin dan mampu menarik orang lain untuk juga melakukan upaya disiplin
Nah
… para orangtua, seyogyanya kita semua dapat melihat atau melakukan cek, apakah
disiplin yang kita terapkan kepada anak kita termasuk yang SEMENTARA atau
TETAP. Perilaku kita sebagai orangtua dalam menerapkan disiplin kepada anak
ternyata menjadi kunci utamanya. Semoga menajdi pengetahuan yang berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar